Masalah
Pendidikan di Pulau Terluar, Memprihatinkan !
Kenyataannya pendidikan di pulau-pulau terluar di MTB yang berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste, sangat tertinggal jauh dibanding daerah lainnya di Maluku, banyak anak-anak sekolah yang hanya bermain dan tidak belajar karena tidak ada guru.
Dengan kondisi seperti itu, dapat membayangkan mutu pendidikan di daerah itu pasti sangat tertinggal jauh dibanding siswa di daerah lainnya, terutama di Ambon sebagai ibu kota provinsi. Banyak pemuda tidak memiliki ijazah SD karena tidak pernah bersekolah, namun sebagian besar berkeinginan menjadi anggota TNI, sehingga dengan mutu pendidikan yang terbelakang dan tertinggal jauh itu, tentunya akan berdampak pembangunan di daerah itu pun akan terbelakang.
Seharusnya pendidikan masyarakat di daerah pulau terluar pun perlu ditingkatkan agar paling tidak sejajar dengan daerah lain yang dekat dengan ibu kota kabupaten atau provinsi, mengingat keberadaan wilayah itu sebagai beranda terdepan bangsa Indonesia.
Keprihatinan Pangdam XVI/Patimura ternyata direalisasikan dengan membantu mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan menempatkan tiga orang tenaga pengajar yang juuga merupakan prajurit TNI pada setiap pos pengamanan yang ada di wilayah perbatasan, sehingga dapat membantu mengajar pada sekolah-sekolah yang ada di daerah itu, sekaligus mengatasi masalah kekurangan tenaga gurunya.
Inisiatif Pangdam XVI/Pattimura ini patut ditiru karena pendidikan merupakan tanggungjawab kita semua sebagai anak bangsa yang prihatin dengan keterpurukan pendidikan di daerah pulau terluar yang sarana dan prasarana transportasi maupun komunikasi masih sangat sulit dan minim.
Kita harus mengakui bahwa selama ini pendidikan di daerah terpencil masih sangat tertinggal karena terbatasnya tenaga guru yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil, selain itu kesadaran masyarat terpencil yang belum memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Untuk itu saya ikut mendukung rencana Pangdam yang akan memberdayakan semua anak buahnya yang bertugas di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar untuk mengamankan setiap program yang dilakukan termasuk membantu proses belajar mengajar bagi para siswa di wilayah tugasnya.
Harapannya tentu dengan memberikan perhatian lebih kepada masalah pendidikan ini, kualitas masyarakat di wilayah itu dapat ditingkatkan sehingga pembangunan di daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Kenyataannya pendidikan di pulau-pulau terluar di MTB yang berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste, sangat tertinggal jauh dibanding daerah lainnya di Maluku, banyak anak-anak sekolah yang hanya bermain dan tidak belajar karena tidak ada guru.
Dengan kondisi seperti itu, dapat membayangkan mutu pendidikan di daerah itu pasti sangat tertinggal jauh dibanding siswa di daerah lainnya, terutama di Ambon sebagai ibu kota provinsi. Banyak pemuda tidak memiliki ijazah SD karena tidak pernah bersekolah, namun sebagian besar berkeinginan menjadi anggota TNI, sehingga dengan mutu pendidikan yang terbelakang dan tertinggal jauh itu, tentunya akan berdampak pembangunan di daerah itu pun akan terbelakang.
Seharusnya pendidikan masyarakat di daerah pulau terluar pun perlu ditingkatkan agar paling tidak sejajar dengan daerah lain yang dekat dengan ibu kota kabupaten atau provinsi, mengingat keberadaan wilayah itu sebagai beranda terdepan bangsa Indonesia.
Keprihatinan Pangdam XVI/Patimura ternyata direalisasikan dengan membantu mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan menempatkan tiga orang tenaga pengajar yang juuga merupakan prajurit TNI pada setiap pos pengamanan yang ada di wilayah perbatasan, sehingga dapat membantu mengajar pada sekolah-sekolah yang ada di daerah itu, sekaligus mengatasi masalah kekurangan tenaga gurunya.
Inisiatif Pangdam XVI/Pattimura ini patut ditiru karena pendidikan merupakan tanggungjawab kita semua sebagai anak bangsa yang prihatin dengan keterpurukan pendidikan di daerah pulau terluar yang sarana dan prasarana transportasi maupun komunikasi masih sangat sulit dan minim.
Kita harus mengakui bahwa selama ini pendidikan di daerah terpencil masih sangat tertinggal karena terbatasnya tenaga guru yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil, selain itu kesadaran masyarat terpencil yang belum memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Untuk itu saya ikut mendukung rencana Pangdam yang akan memberdayakan semua anak buahnya yang bertugas di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar untuk mengamankan setiap program yang dilakukan termasuk membantu proses belajar mengajar bagi para siswa di wilayah tugasnya.
Harapannya tentu dengan memberikan perhatian lebih kepada masalah pendidikan ini, kualitas masyarakat di wilayah itu dapat ditingkatkan sehingga pembangunan di daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Opini
Rakyat : Tentang Indonesia Ku
Veby
Susanti Bogor, Jabar
( Evaluasi Kinerja Kepolisian )
Akhir-akhir muncul tren baru di Kepolisian Indonesia yakni kasus meningkatnya pelanggaran-pelanggaran penggunaan senjata api yang tidak pada tempatnya dan mengakibatkan tewasnya seseorang, sebagaimana terakhir dialami AKBP Liliek Purwanto, Wakapolres Semarang yang meregang nyawa diujung senjata anak buahnya sendiri, Briptu Hance.
Dengan adanya peristiwa tersebut muncul kontroversi apakah anggota Polri mesti persenjatai atau tidak. Berbagai pernyataan muncul yang pada intinya mengevaluasi kinerja kepolisian saat ini, seperti yang diungkapkan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PAN, Mulfahri Harahap, bahwa polisi harus tetap dipersenjatai karena mereka tak lepas dari tugas-tugas kepolisian.
Sistem pendidikan Polri yang bernuansa militer juga harus diubah dengan sebuah kurikulum yang menonjolkan penguatan citra masyarakat sipil untuk menjadikan Polri benar-benar sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.
Pernyataan lain disampaikan mantan Kapolda Metro Jaya, Komjen (Purn) Nugroho Djajoesmanm yakni untuk menghindari penyalahgunaan senjata, Polri harus melakukan tes psikologi kepada anggotanya secara periodik, karena yang sering menjadi penyebab penyalahgunaan senjata tekanan spikologis akibat beban kerja, masalah keluarga, rendahnya pendapatan anggota polisi.
Polri juga harus segera melakukan perubahan untuk menghindari tekanan psikologis bagi anggotanya, dengan mengubah pola hubungan atasan-bawahan dari pola militeristik menjadi pola hubungan keluarga layaknya bapak-anak.
Seyogyanya lembaga Polri segera mengkaji dan mengevaluasi kinerjanya selama ini, termasuk melakukan pembinaan terhadap anggotanya dengan menerapkan tindakan yang tegas bagi anggota kepolisian yang melanggar hukum khususnya terkait penyalahgunaan senjata api.
Dihadapkan dengan pembahasan RUU Peradilan Militer yang telah memasuki tahap Panitia Kerja DPR, maka sebentar lagi Undang Undang Peradilan Militer akan disahkan maka secara otomatis Polri akan berkedudukan sebagai penyidik tunggal di Indonesia. Karena itu Polri harus lebih berbenah diri.
( Evaluasi Kinerja Kepolisian )
Akhir-akhir muncul tren baru di Kepolisian Indonesia yakni kasus meningkatnya pelanggaran-pelanggaran penggunaan senjata api yang tidak pada tempatnya dan mengakibatkan tewasnya seseorang, sebagaimana terakhir dialami AKBP Liliek Purwanto, Wakapolres Semarang yang meregang nyawa diujung senjata anak buahnya sendiri, Briptu Hance.
Dengan adanya peristiwa tersebut muncul kontroversi apakah anggota Polri mesti persenjatai atau tidak. Berbagai pernyataan muncul yang pada intinya mengevaluasi kinerja kepolisian saat ini, seperti yang diungkapkan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PAN, Mulfahri Harahap, bahwa polisi harus tetap dipersenjatai karena mereka tak lepas dari tugas-tugas kepolisian.
Sistem pendidikan Polri yang bernuansa militer juga harus diubah dengan sebuah kurikulum yang menonjolkan penguatan citra masyarakat sipil untuk menjadikan Polri benar-benar sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.
Pernyataan lain disampaikan mantan Kapolda Metro Jaya, Komjen (Purn) Nugroho Djajoesmanm yakni untuk menghindari penyalahgunaan senjata, Polri harus melakukan tes psikologi kepada anggotanya secara periodik, karena yang sering menjadi penyebab penyalahgunaan senjata tekanan spikologis akibat beban kerja, masalah keluarga, rendahnya pendapatan anggota polisi.
Polri juga harus segera melakukan perubahan untuk menghindari tekanan psikologis bagi anggotanya, dengan mengubah pola hubungan atasan-bawahan dari pola militeristik menjadi pola hubungan keluarga layaknya bapak-anak.
Seyogyanya lembaga Polri segera mengkaji dan mengevaluasi kinerjanya selama ini, termasuk melakukan pembinaan terhadap anggotanya dengan menerapkan tindakan yang tegas bagi anggota kepolisian yang melanggar hukum khususnya terkait penyalahgunaan senjata api.
Dihadapkan dengan pembahasan RUU Peradilan Militer yang telah memasuki tahap Panitia Kerja DPR, maka sebentar lagi Undang Undang Peradilan Militer akan disahkan maka secara otomatis Polri akan berkedudukan sebagai penyidik tunggal di Indonesia. Karena itu Polri harus lebih berbenah diri.
Eka
Murti, Jakarta
( Mari Kita Bangun Papua )
Aksi kekerasan yang masih saja terjadi di wilayah Indonesia paling timur (Papua), menjadi torehan kelam dari rentetan panjang terhadap aksi-aksi kekerasan di bumi pertiwi.
Masalah separatisme, pemberontakan, berupa pengibaran bendera Papua merdeka (Bintang Kejora) dan perlawanan oleh sebagian masyarakat Papua yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap aparat keamanan, termasuk pembunuhan terhadap masyarakat dan personel TNI-Polri, tetap ada di sana.
Bahkan, tak pernah terbayangkan sebelumnya, masyarakat Papua begitu berigas melempari aparat dengan batu dan benda-benda tajam lainnya, ketika terjadi unjuk rasa. Belum lagi kejadian perang suku yang terasa terus melekat di kehidupan orang-orang Papua.
Dalam hal ini, tentu saja pemerintah (pusat) adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas peristiwa berdarah itu. Aparat TNI, polisi, mahasiswa dan beberapa suku di Papua yang terlibat dalam gerakan separatis dan pertikaian itu, hanya korban dari ekses kebijakan pembangunan yang tak kunjung membuahkan hasil atas perubahan nasib orang banyak.
Tapi bagaimana mau membangun Papua dengan baik, kalau saja masih ada gerombolan yang mengacaukan jalannya program pembangunan yang tengah berjalan. Rasa puas tentu saja masih ada dan pemerintah tentu tidak akan bisa memuaskan kepentingan semua warga masyarakat Papua. Namun secara umum, program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan terus dilakukan untuk menyejajarkan warga Papua, sama seperti warga negara Indonesia yang berada di wilayah-wilayah lain Indonesia.
Gerakan yang bertujuan untuk memerdekakan Papua terpisah dari NKRI tersebut, jika diukur dari kekukatan bersenjatanya memanglah sangat kecil. Namun yang jelas, keberadaan kelompok separatis tersebut sedikit banyak telah mengganggu kelancaran dan keberhasilan pembangunan di wilayah Papua, sehingga proses percepatan pembangunan dan peningkatan taraf kesejahteraan hidup rakyat Papua menjadi berjalan lamban. Papua masih saja tertinggal dengan daerah-daerah lain di Indonesia, walaupun upaya untuk meningkatkan dan memeratakan pembangunan telah berjalan dengan cukup optimal, di antaranya melalui pemberian otonomi Daerah (Otda) dan pemekaran wilayah.
Jika pada proses selanjutnya para anggota dan simpatisan OPM banyak yang sadar, menyerah dan kemudian bergabung dengan saudara-saudaranya yang lain membangun Papua, maka cepat atau lambat, ketertinggalan dan keterbelakangan yang dialami rakyat Papua akan sirna dan pada akhirnya Papua akan menjadi daerah yang makmur. Bahkan tidak menutup kemungkinan bisa melebihi daerah lainnya di Indonesia.
( Mari Kita Bangun Papua )
Aksi kekerasan yang masih saja terjadi di wilayah Indonesia paling timur (Papua), menjadi torehan kelam dari rentetan panjang terhadap aksi-aksi kekerasan di bumi pertiwi.
Masalah separatisme, pemberontakan, berupa pengibaran bendera Papua merdeka (Bintang Kejora) dan perlawanan oleh sebagian masyarakat Papua yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap aparat keamanan, termasuk pembunuhan terhadap masyarakat dan personel TNI-Polri, tetap ada di sana.
Bahkan, tak pernah terbayangkan sebelumnya, masyarakat Papua begitu berigas melempari aparat dengan batu dan benda-benda tajam lainnya, ketika terjadi unjuk rasa. Belum lagi kejadian perang suku yang terasa terus melekat di kehidupan orang-orang Papua.
Dalam hal ini, tentu saja pemerintah (pusat) adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas peristiwa berdarah itu. Aparat TNI, polisi, mahasiswa dan beberapa suku di Papua yang terlibat dalam gerakan separatis dan pertikaian itu, hanya korban dari ekses kebijakan pembangunan yang tak kunjung membuahkan hasil atas perubahan nasib orang banyak.
Tapi bagaimana mau membangun Papua dengan baik, kalau saja masih ada gerombolan yang mengacaukan jalannya program pembangunan yang tengah berjalan. Rasa puas tentu saja masih ada dan pemerintah tentu tidak akan bisa memuaskan kepentingan semua warga masyarakat Papua. Namun secara umum, program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan terus dilakukan untuk menyejajarkan warga Papua, sama seperti warga negara Indonesia yang berada di wilayah-wilayah lain Indonesia.
Gerakan yang bertujuan untuk memerdekakan Papua terpisah dari NKRI tersebut, jika diukur dari kekukatan bersenjatanya memanglah sangat kecil. Namun yang jelas, keberadaan kelompok separatis tersebut sedikit banyak telah mengganggu kelancaran dan keberhasilan pembangunan di wilayah Papua, sehingga proses percepatan pembangunan dan peningkatan taraf kesejahteraan hidup rakyat Papua menjadi berjalan lamban. Papua masih saja tertinggal dengan daerah-daerah lain di Indonesia, walaupun upaya untuk meningkatkan dan memeratakan pembangunan telah berjalan dengan cukup optimal, di antaranya melalui pemberian otonomi Daerah (Otda) dan pemekaran wilayah.
Jika pada proses selanjutnya para anggota dan simpatisan OPM banyak yang sadar, menyerah dan kemudian bergabung dengan saudara-saudaranya yang lain membangun Papua, maka cepat atau lambat, ketertinggalan dan keterbelakangan yang dialami rakyat Papua akan sirna dan pada akhirnya Papua akan menjadi daerah yang makmur. Bahkan tidak menutup kemungkinan bisa melebihi daerah lainnya di Indonesia.
http://www.antaranews.com/ http://www.kompassiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar